Di antara kita ada yang mendapat anugerah, bahkan seindah-indah anugerah, yakni hidayah.
Ia (hidayah) menuntun kita melangkahkan kaki ke majelis-majelis ilmu, memberikan pelita yang dengan penerangannya membuat kita mengetahui dengan jelas mana perkara baik (haq) juga mana perkara buruk (bathil).
Namun, dari sekian banyaknya hal positif yang kita dapat setelah Allah memberikan petunjuk dan hidayahnya untuk kita. Di antara kita juga ada yang dengannya (hidayah) malah membuat diri menjadi congkak, dan memandang rendah dan sebelah mata orang-orang yang menurut pandangan kita belum genap mendapat hidayah. Termasuk kedua orang tua kita.
Semenjak kita menobatkan diri sebagai seorang yang hijrah, semenjak kita sedikit mengetahui tatacara pelaksanaan ibadah sesuai sunnah, semenjak kita sedikit mengetahui tentang hukum-hukum muamalah, semenjak kita sedikit mengetahui halal-haramnya suatu perkara, semenjak kita sedikit mengetahui tentang hukum-hukum tajwid, semenjak kita sedikit mengetahui tentang beberapa kaidah isim, fi’il dan hurf (nahwu), namun ternyata semenjak itu pulalah tanpa terasa kita menjadi hakim yang selalu memvonis perbuatan orang-orang yang belum genap mendapatkan hidayah, bahkan kedua orang tua kita pun tak lepas dari penghakiman pandangan kita.
Maka sejatinya ada satu ilmu yang kita lewatkan yakni ilmu tentang adab atau Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa).
Kita kerapkali berandai-andai, “andai saja diri ini terlahir dari keluarga yang taat akan agama”, “andai saja keluargaku adalah orang-orang yang berilmu akan agama”, “andai saja ayahku rajin berjamaah di masjid”, “andai saja ibuku istiqomah dalam berhijab”.. andai saja.. andai saja.. dan seterusnya sampai-sampai amnesia terhadap kata Syukur hingga terjatuh pada perilaku kufur (kufur nikmat).
Padahal bisa saja tanpa kita sadari sebenarnya salah satu penghalang orang tua kita untuk mendapatkan hidayah adalah karena mereka terlalu sibuk mengurusi berbagai keperluan dan kebutuhan kita. Mereka sibuk dengan keinginan untuk membahagiakan kita. Mereka khawatir jika kita hidup susah dan hanya bisa berkeluh kesah.
Dan setelah sejauh ini mereka berjuang untuk kita, rela melepas cita dan asa yang mereka ukir tatkala sesusia kita, rela membanting tulang agar kita tidak di banting kerasnya kehidupan, apa balasan kita?
Pernahkah terpikir bahwa senyum yang terlukis di bibir kita selama ini adalah hasil dari ramuan tangis, tangis dari ibu dan ayah yang mengucur deras sebab tingginya pengahrapan (do’a) agar anak-anaknya selalu berada dalam kebaikan dan kebahagiaan?
Pernahkah terpikir bahwasannya bisa saja Allah mengganti keringat mereka dengan materi yang berlimpah namun Allah lebih memilih sesuatu yang berharga dari sekedar materi, yaitu hidayah untuk anak mereka: kita.
Ternyata kita memang kurang peka atau tidak berusaha untuk peka dalam mengambil setiap hikmah kehidupan. Sudah seharusnya hidayah yang kita terima dari-Nya membuat kita lebih memuliakan kedua orang tua kita, bukan malah memandang rendah derajat mereka, hanya karena mereka kurang berilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar