Senin, 17 Februari 2020

REDEFINISI


Terkadang kita terlalu sering mengeluh akan kelemahan diri, menganggap diri lebih lemah dibanding orang lain, menganggap diri tak berguna, seakan tak ada alasan untuk memberikan apresiasi terhadap diri sendiri, singkat kata keluarlah kata “da akumah apa atuh?”

Maka itu adalah tanda bahwa kita membutuhkan asupan cinta, bukan dari orang lain, melainkan dari diri sendiri.
Ya.. yang kita butuhkan adalah membangun cinta pada diri sendiri.

Dengan kacamata cinta apa yang kita lihat selalu indah meski ia adalah cela, namun maksudnya bukanlah membanggakan kekurangan atau cacat yang ada dalam diri melainkan dengan kacamata cinta kita bisa melihat dari sisi yang lain, itulah yang disebut “Redefinisi”, sehingga dari yang tadinya adalah kelemahan kini bisa menjadi suatu kekuatan.

Dalam buku “Terapi Berpikir Positif” karya Dr. Ibrahim Elfiky, beliau (Dr. Ibrahim) menuturkan pernah ada seorang pemuda yang pemalu dan ia terlalu pesimis memandang dirinya sendiri sehingga ia merasa takut terhadap masa depan, namun di sisi lain ia ingin menjadi seorang yang menginspirasi/ motivator, lantas ia mengadukan hal yang demikian kepada dirinya (Dr. Ibrahim Elfiky).

Di sinilah sang Motivator menunjukan kelasnya. Terjadilah dialog:

“Dr. Ibrahim, apakah aku bisa menjadi orang seperti anda?” tanya si pemuda

“Tentu bisa, bahkan lebih baik jika anda benar-benar menginginkannya.” jawab sang Motivator

“Masalahnya aku sangat pemalu. Ada yang bilang kepribadianku lemah. Jika itu benar, bagaimana mungkin aku akan memberi pelatihan kepada orang lain?”

”Apakah anda suka mendengar orang lain berbicara?"

“Ya.”

“Apakah anda mengenal seseorang yang terus bicara meskipun orang lain hendak bicara. Ia terus bicara dan tidak memberinya kesempatan?”

“Ya, aku banyak mengenal orang seperti itu. Bahkan kebanyakan orang menurutku seperti itu.”

“Sementara Allah memberi anda potensi diam dan mendengarkan. Kekuatan yang anda miliki ini tidak banyak dimiliki orang lain. Di antara sikap seorang pelatih (motivator) profesional adalah diam dan mendengarkan. Dengan demikian ia dapat memahami dan mempertimbangkan sebelum bicara. Diam adalah salah satu prinsip kekuatan diri, sedangkan mendengarkan adalah salah satu prinsip berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang suka bila didengarkan. Ia merasa nyaman bersama orang yang mendengarkannya. Maka, ia akan membuka hati pada orang yang mu mendengarkan.”

Pemuda itu memandang sang Motivator dan berkata,
“Aku baru menyadari bahwa apa yang ada padaku bukan kelemahan, melainkan kekuatan.”

“Justru kekuatan yang diimpikan banyak orang. Sebab, masalah kerap kali timbul karena orang tergesa-gesa untuk bicara” tambah sang Motivator

Sambil tersenyum pemuda itu berkata, “Kalau begitu sudah aku putuskan untuk menjadi lebih baik dari anda, Dr. Ibrahim.”

Dialog di atas adalah contoh dari upaya Redefinisi.

Seseorang mendefinisikan bahwa sifat pendiamnya dan pendengarnya adalah kelemahan, namun ketika definisi itu dirubah menjadi suatu kekuatan maka ia akan lebih menyukai dan mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian apresiasi dan rasa percaya pada dirinya sendiri jadi meningkat.

Minggu, 16 Februari 2020

HIJRAHKU Berbuah Apa?

Di antara kita ada yang mendapat anugerah, bahkan seindah-indah anugerah, yakni hidayah.

Ia (hidayah) menuntun kita melangkahkan kaki ke majelis-majelis ilmu, memberikan pelita yang dengan penerangannya membuat kita mengetahui dengan jelas mana perkara baik (haq) juga mana perkara buruk (bathil).

Namun, dari sekian banyaknya hal positif yang kita dapat setelah Allah memberikan petunjuk dan hidayahnya untuk kita. Di antara kita juga ada yang dengannya (hidayah) malah membuat diri menjadi congkak, dan memandang rendah dan sebelah mata orang-orang yang menurut pandangan kita belum genap mendapat hidayah. Termasuk kedua orang tua kita.

Semenjak kita menobatkan diri sebagai seorang yang hijrah, semenjak kita sedikit mengetahui tatacara pelaksanaan ibadah sesuai sunnah, semenjak kita sedikit mengetahui tentang hukum-hukum muamalah, semenjak kita sedikit mengetahui halal-haramnya suatu perkara, semenjak kita sedikit mengetahui tentang hukum-hukum tajwid, semenjak kita sedikit mengetahui tentang beberapa kaidah isim, fi’il dan hurf (nahwu), namun ternyata semenjak itu pulalah tanpa terasa kita menjadi hakim yang selalu memvonis perbuatan orang-orang yang belum genap mendapatkan hidayah, bahkan kedua orang tua kita pun tak lepas dari penghakiman pandangan kita.

Maka sejatinya ada satu ilmu yang kita lewatkan yakni ilmu tentang adab atau Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa).

Kita kerapkali berandai-andai, “andai saja diri ini terlahir dari keluarga yang taat akan agama”, “andai saja keluargaku adalah orang-orang yang berilmu akan agama”, “andai saja ayahku rajin berjamaah di masjid”, “andai saja ibuku istiqomah dalam berhijab”.. andai saja.. andai saja.. dan seterusnya sampai-sampai amnesia terhadap kata Syukur hingga terjatuh pada perilaku kufur (kufur nikmat).

Padahal bisa saja tanpa kita sadari sebenarnya salah satu penghalang orang tua kita untuk mendapatkan hidayah adalah karena mereka terlalu sibuk mengurusi berbagai keperluan dan kebutuhan kita. Mereka sibuk dengan keinginan untuk membahagiakan kita. Mereka khawatir jika kita hidup susah dan hanya bisa berkeluh kesah.

Dan setelah sejauh ini mereka berjuang untuk kita, rela melepas cita dan asa yang mereka ukir tatkala sesusia kita, rela membanting tulang agar kita tidak di banting kerasnya kehidupan, apa balasan kita?

Pernahkah terpikir bahwa senyum yang terlukis di bibir kita selama ini adalah hasil dari ramuan tangis, tangis dari ibu dan ayah yang mengucur deras sebab tingginya pengahrapan (do’a) agar anak-anaknya selalu berada dalam kebaikan dan kebahagiaan?

Pernahkah terpikir bahwasannya bisa saja Allah mengganti keringat mereka dengan materi yang berlimpah namun Allah lebih memilih sesuatu yang berharga dari sekedar materi, yaitu hidayah untuk anak mereka: kita.

Ternyata kita memang kurang peka atau tidak berusaha untuk peka dalam mengambil setiap hikmah kehidupan. Sudah seharusnya hidayah yang kita terima dari-Nya membuat kita lebih memuliakan kedua orang tua kita, bukan malah memandang rendah derajat mereka, hanya karena mereka kurang berilmu.

Sabtu, 15 Februari 2020

Move On yang Berkelas

Pada dasarnya “move on” adalah suatu kata yang positif, namun terkadang sebagian muda-mudi keliru terhadap penggunaan kata tersebut, hingga yang awalnya bermakna positif malah mengarah pada makna negatif. Salah satunya adalah “cari pacar”.

Lalu sebenarnya apa sih arti dari kata move on tersebut dan bagaimana kita memaknainya?

Move on secara bahasa yakni bergerak maju atau berjalan terus. Namun kata move on sering diidentikan dengan “cari pacar baru setelah putus dari pacar sebelumnya.” (Tentunya kita mengetahui bahwa hukum pacaran itu dilarang dalam Islam).

Satu hal yang harus kita ketahui, putus dari pacar itu bukan merupakan aib, apalagi kita menamainya dengan label “cobaan/ujian”. Justru itu adalah bentuk nikmat dan anugerah kasih sayang dari Allah kepada kita agar tidak terjerumus pada lembah dosa dan maksiat yang disebut pacaran.

Maka secara tidak langsung kalau kita cermati, ini adalah salah satu bentuk penyesatan/penyelewengan makna dengan motif:
“Menggunakan istilah positif (move on) lalu menempatkannya pada sesuatu yang sifatnya negatif (cari pacar/gebetan baru)”

Allah ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang busuk.” (Q.S Al-Isra: 32)
Kita tahu betul bahwa pacaran merupakan salah satu perbuatan mendekati zina. Meski pacaran juga bisa menjadi salah satu jalan menuju pernikahan, namun menurut ayat di atas, pacaran bukanlah jalan yang bijak untuk menuju jenjang pernikahan.

Perhatikanlah beberapa dampak keburukan yang timbul dari pacaran, di antaranya adalah:

1. Hilangnya rasa malu antar pelaku pacaran
Malu adalah perasaan yang dapat menjaga kehormatan diri, karena dengannya amanah bisa ditunaikan; aurat senantiasa ditutup; tindak keburukan akan dijauhi; dan segala cela yang berpotensi merusakan nama baiknya akan dihindari.
Jika rasa malu mulai terkikis, maka batasan-batasan moral yang awalnya dipegang teguh pun sudah tak dipedulikannya lagi, hingga terjatuhlah ia pada jurang kehinaan karena ketiadaan rasa malu. Ketahuilah bahwa manusia bisa lebih mulia dari pada hewan salah satunya karena sifat malu. 
Pertanyaannya, apakah rasa malu ada pada orang yang berpacaran? Jawabannya adalah mungkin sebagian masih memegang rasa malu, itulah sebab sebagian orang yang pacaran selalu menjauhi tempat keramaian. Karena malu. Kenapa malu? Karena tahu apa yang sebenarnya ia lakukan (pacaran) adalah hal yang tidak dibenarkan.
Mungkin dia bisa bersembunyi dan luput dari pandangan orang-orang, tapi sejatinya ia tidaklah luput dari pandangan Rabbnya. Dan ini adalah perkara yang memalukan karena ia malu bermaksiat dihadapan manusia, namun tak malu bermaksiat dihadapan Rabbnya.

2. Menuntun terjadinya tindakan perzinahan
Sebagaimana yang telah disebutkan pada poin pertama, ketika hilang rasa malu maka hilang pulalah batasan-batasan moral, seperti saling berpegang tangan; saling kecup; saling sentuh; bahkan hingga bersetubuh. Padahal kita tahu bahwa itu semua adalah perkara yang hanya boleh dilakukan oleh sepasang insan yang sudah menikah.
Pernahkah kita memperhatikan, ketika pacaran menjadi sebuah kewajaran, lalu di mana letak suci dan sakralnya sebuah pernikahan?
Dan pada akhirnya keputusan ada ditangan kita. Kemanakah kita hendak memihak? Kepada Allah yang menciptakan kita beserta syari’at-syari’at-Nya atau kepada musuh-musuh-Nya yang mencoba merusak syari’at-syari’at-Nya.
 
3. Pembunuhan
Dari hasil perzinahan lahirlah apa yang tak diharapkan. Lalu untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga maka Pembunuhan pun menjadi jalan; ada yang memilih aborsi; bahkan ada juga yang menghabisi pasangannya.
Renungkanlah sementara engkau menanggung penyesalan, ada yang tertawa merayakan kemenangan, dialah setan yang mengelabuimu dan membisikan ke dalam dadamu agar engkau terjerumus dalam maksiat pacaran.

4. Murka dan siksa yang pedih dari Allah jika tidak segera bertaubat
Segala yang kita lakukan tidaklah luput dari pengawasan-Nya, dan karena keadilan-Nya semua ada perhitungannya.
Sebagaimana firman-Nya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S Az-Zalzalah: 7-8)
Allah ta’ala juga berfirman: “… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa adzab yang pedih.” (Q.S An-Nur: 63)
Salah satu gambaran siksa yang mengerikan adalah dalam sebuah hadits diterangkan bahwa seseorang yang kepalanya ditusuk oleh pasak dari besi lebih baik keadaannya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.
Lekaslah bertaubat karena Allah masih mengampuni orang-orang yang senantiasa bertaubat, sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqomah) di jalan yang benar.” (Q.S Thaha: 82)

Itulah beberapa dampak buruk dari pacaran, meskipun sebenarnya tidak hanya terbatas pada empat poin saja, melainkan masih banyak dampak buruk yang dihasilkan dari pacaran. 
Tentunya dengan kita mengetahui dampak buruk yang ditimbulkan dari pacaran, besar harapan itu akan mempermudah kita dalam proses move on.

Lalu tinggalah kita memaknai apa itu move on.
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal-awal bahwa move on secara bahasa artinya bergerak maju atau berjalan terus. Maka bagi seorang muslim move on bisa diartikan hijrah.
Hijrah adalah berpindah dari hal yang sifatnya tidak baik/kurang baik menuju kepada hal yang sifatnya lebih baik atau kalimat sederhananya yakni perubahan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Perubahan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan, sebagai mana kita ketahui bahwasannya angkot butuh bergerak maju untuk mendapatkan penumpang; air akan senantiasa memunculkan aroma busuk jika ia hanya menggenang (tidak mengalir); untuk mengenai sasaran, anak panah haruslah melesat dari busurnya; sebelum menjadi kupu-kupu yang indah dan memanjakan mata, ulat butuh pada perubahan menjadi kepompong.

Demikian pula seorang Muslim, ia butuh pada yang namanya hijrah untuk terus memperbaiki keadaan dirinya sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah Rahimahullah (semoga Allah merahmati dan meridhai beliau): 
“Sejak lahir hingga wafat nanti kita masih terus berjalan menuju Allah. Kita baru akan turun dari tunggangan ketika hari perjumpaan dengan-Nya tiba. Jalan menuju Rabb Yang Mahakuasa sudah begitu jelas bagi hamba, namun kekeruhan hati membuat banyak dari mereka yang tersesat di jalan kebinasaan. Karena itu, tetaplah fokus menuju Allah dan perbanyaklah perbekalan Anda untuk menghadap-Nya kelak”.

Berangkat dari gagasan yang disampaikan Imam Ibnul Qoyyim, maka yang namanya hijrah itu bukan perkara hitungan satu, dua, tiga minggu, atau bulan bahkan tahun, melainkan hal yang harus terus dilakukan seumur hidup. Maka untuk melakukannya dibutuhkan perjuangan.
Dan berikut tips agar tetap istiqomah di atas jalan hijrah/ move on:
1. Berilmu terhadap suatu perkara
Ilmu layaknya  cahaya yang dengannya kita bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk. move on itu akan terasa sulit ketika kita masih menganggap apa yang hendak kita tinggalkan adalah perkara yang baik. Di sinilah pentingnya ilmu.

2. Niat beserta tekad
Setelah kita mengetahui ternyata apa yang selama ini kita lakukan adalah suatu kesalahan, namun terkadang kita masih enggan untuk meninggalkannya mungkin dikarenakan dua hal. Pertama sudah terlalu nyamannya kita dalam perkara yang demikian. Dan kedua, adanya rasa malas dan putus asa untuk berubah. Ketahuilah keduanya adalah bersumber dari setan. Maka dibutuhkan niat dan tekad yang kuat untuk melawannya.

3. Carilah inspirasi/motivasi, bisa dari cuplikan ceramah, buku-buku bacaan, internet dan lain sebagainya.

4. Perbanyaklah berteman dan bergaul dengan orang shaleh
Karena dalam sebuah hadits dikatakan bahwa: “Agama seseorang itu tergantung agama temannya”. 

5. Rutin menghadiri majelis-majelis ilmu. Layaknya smartphone yang butuh untuk dicharger, maka iman pun demikian.
Dan majelis ilmu adalah tempat di mana disemainya butir-butir ilmu yang menjadi sebab suburnya iman yang tertanam dalam dada.

6. Teruslah berdo’a, agar tetap berada pada jalan hijrah dan terus istiqomah, karena sejatinya hati itu senantiasa berbolak-balik dan yang berkuasa membolak-balikkan hati manusia itu adalah sang Pencipta dan Pemilik hati itu sendiri. Allah.

Sebagai penutup, perlu kiranya kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu mencintai orang yang bertaubat dan terkadang Allah menakdirkan seseorang bertaubat dengan cara menjadikan orang itu berbuat dosa. Maka jangan sampai dosa yang telah lalu membuat kita terpuruk dan berputus asa dari rahmat Allah. Bersyukurlah dengan cara kembali kepada-Nya, karena dengan wasilah dosa itulah kita bisa menjemput cinta-Nya Allah, yakni Taubat. 
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir.” (Q.S Yusuf: 87)
Dari ayat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa jangan sampai kita memasuki ranah kekafiran dengan cara berputus asa dari rahmat Allah.
Teruslah beramal dan berusaha dengan segenap kemampuan, karena Allah akan menurunkan kemudahan sesuai dengan yang telah Allah tetapkan, dan salah satu ketetapan Allah adalah menjadikan kita beramal dan berusaha.

Keep move and istiqomah.

Sabtu, 01 Februari 2020

Efek Akidah yang Shahih

Sesungguhnya yang mengetahui keadaan psikologis seluruh manusia adalah Penciptanya. Dengan Rahmat dan kasih sayangNya maka diturunkanlah Islam untuk mengatur setiap inci kehidupan.

Maka dapat diambil faidah bahwa baiknya peradaban suatu bangsa adalah tergantung kedekatan hubungan masyarakat dengan Tuhannya.

Jika mau berkaca pada sejarah, tidak ada yang bisa menandingi kesuksesan peradaban generasi terbaik,  yakni generasi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam beserta para sahabatnya.

Mungkin pada saat itu teknologi tidaklah secanggih seperti sekarang ini, namun kemajuan teknologi bukanlah parameter kemajuan suatu peradaban. Peradaban bisa dikatakan maju ketika masyarakatnya beradab sehingga terciptalah keamanan, kenyamanan, ketentraman, dan kesejahteraan.

Kemajuan dalam bidang teknologi pada zaman sekarang bisa dikatakan sangat pesat, namun pernahkah merenungi ke mana kemajuan ini membawamu?
Ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya?

Contoh sederhana adalah smartphone, Katakanlah ia bisa mendekatkan yang jauh, namun nyatanya ia lebih banyak menjauhkan yang dekat. Alih-alih difungsikan untuk mengobati suatu kerinduan, namun justru malah merusak esensi kerinduan itu sendiri.
Sebab obat sejati suatu kerinduan adalah pertemuan secara nyata, bukan hanya ketikan kata ataupun pesan suara, tatap muka (lumayanlah), tapi itupun hanya dalam maya. Intinya adalah jika bisa bertemu usahakanlah untuk bertemu sebab smartphone hanyalah alat bantu ketika temu menjumpai jalan buntu.

Namun bukan berarti kita menolak akan perkembangan zaman yang kian modern.
Intinya adalah Jika pembangunan (yang sifatnya duniawi) tidak disertai dengan pembangunan Tarbiyah atau tuntunan agama.

Maka jangan heran pembangunan yang tercipta hasil dari buah pikiran tanpa aqidah yang shohih akan menghancurkan kehidupan itu sendiri.

Mulai dari orde lama menjadi Orde Baru dan Reformasi kemudian demokrasi semua teori yang telah dicoba Apa hasilnya?
Siapa yang menjadi korban? 
Masyarakat dari bangsa itu sendiri

Sungguh tidak akan ada sistem yang sempurna jika yang membuat sistem, pun tidak sempurna. Dan yang dapat menciptakan sistem secara sempurna adalah Dzat yang juga Maha Sempurna.

Sistem itu sebenarnya telah ada namun yang tidak ada adalah kepercayaan/Iman manusia terhadap sistem yang sudah dijanjikan, bahkan terhadap yang menciptakan sistem itu. Siapa?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Para Nabi adalah pahlawan sesungguhnya dalam peradaban manusia Sebab mereka itu membangun peradaban dimulai dari Pondasi yang paling utama yaitu Aqidah atau Tauhid.

Pandanglah kembali bagaimana Rasulullah membangun peradaban apa yang dibangun terlebih dahulu selama 10 tahun Mekah.
Beliau membangun asas terlebih dahulu bukan pembangunan infrastruktur, teknologi, ekonomi, dan sebagainya. Bukan. 

Hal itu terjadi sebab penanaman aqidah yang benar seandainya penduduk bumi ini bertaqwa niscaya Allah akan membuka pintu keberkahan dari langit dan bumi.

Negeri kita Indonesia itu adalah negeri yang kaya namun ke mana larinya?
Hilang.
Sebab dalam prosesnya banyak terjadi praktik-praktik yang dimurkai oleh Allah akhirnya meskipun modal berlimpah tetap tidak membawa berkah. Uang ada tapi berkah tak ada.

Solusinya adalah bangunlah pendidikan berdasarkan aqidah ekonomi berlandaskan aqidah kebijakan-kebijakan muncul berasaskan aqidah.

Tapi sekarang Coba lihat semua sistem tercipta jauh dari sistem yang ditawarkan syariat.

Pergaulan bebas antar remaja, sex bebas, hamil diluar nikah di mana-mana. Apa penyebabnya? Jauh dari syariat.

Setelah timbul masalah, barulah berpikir untuk menyelesaikan masalah. Perhatikanlah bagaimana jika manusia jauh dari aqidah, ia menciptakan solusi yang justru semakin menambah kemurkaan Allah.

Ada isu pelajaran jihad dihapuskan padahal justru jika jihad itu diajarkan Dengan pemahaman yang shohih ia akan terbentengi dari paham-paham radikalisme serta teroris.

Sebagaimana anak kecil ia harus diberi asupan gizi yang baik antibodi yang bagus untuk ketahanan tubuhnya begitupun dengan masyarakat maka mereka harus diberi asupan tauhid aqidah yang shohih yang di mana hal itu dapat membentengi syubhat-syubhat setan yang dimasukkan kepada orang-orang yang jahil mengenai agama.

Ketika aqidah di hati itu tipis, bahkan tidak ada, ia akan bertindak dengan tanpa rasa takut dan diawasi oleh Allah.
Akibatnya ia bertindak tanpa kontrol.


Catatan kajian bersama Ust. Dr. Ali Musri Semjan Putra, Lc., M.A
Semarang, 15 Desember 2019